Masjid Gedhe Kauman Yogyakarta atau Masjid Kauman dikenal sebagai Masjid Agung Daerah Istimewa Yogyakarta. Masjid ini memiliki kaitan erat dengan Kesultanan Yogyakarta. Keberadaan Masjid Kauman menjadi saksi keberadaan kerajaan islam di Yogyakarta.
Masjid Gedhe berada di Kelurahan Ngupasan, Kecamatan Gondomanan, Kota Yogyakarta. Lokasi tersebut berada di sisi barat Alun-Alun Utara dan barat daya Pasar Beringharjo yang terletak tidak jauh dari bangunan Keraton. Masjid ini dibangun oleh Sri Sultan Hamengkubuwono I setelah pembangunan Keraton Yogyakarta selesai.
Baca juga: Keindahan Arsitektur dan Kontroversi Arsitek Taman Sari Yogyakarta
Sejarah Masjid Gedhe Keraton Yogyakarta
Melansir Dinas Perpustakaan dan Arsip Daerah Istimewa Yogyakarta, Masjid Gedhe didirikan pada tanggal 6 Rabi’ul Akhir 1187 atau 29 Mei 1773 Masehi. Bangunan masjid dirancang oleh Kiai Wiryokusumo. Hanya 2 tahun, bangunan masjid diperluas karena jamaah bertambah banyak.
Pada awal masa Kesultanan Yogyakarta, masjid difungsikan sebagai tempat menyelesaikan masalah perdata yang ada kaitannya dengan hukum islam. Penyelesaian hukum dilaksanakan di Mahkamah Al Kabirah yang terletak di serambi masjid. Selain menyelesaikan permasalahan hukum, tempat tersebut juga digunakan sebagai tempat pertemuan alim ulama, pengajian dakwah islamiyah, dan peringatan hari besar.
Baca juga: Desain Renovasi Rumah Industrial 2 Lantai dengan Budget Minimalis
Pada tahun 1840, regol atau gerbang masjid yang diberi nama “gapuro” dibangun. Pada tahun 1867, terjadi gempa besar yang menimpa Yogyakarta dan merobohkan gerbang serta serambi masjid. Karena kejadian tersebut, masjid direnovasi sekaligus memperluas serambi masjid dengan luas dua kali luas semula. Namun, regol atau gerbang masjid dibangun dua tahun setelahnya.
Pada tahun 1917, dibangun pajagan atau gardu penjaga di sebelah kanan dan kiri gerbang. Kemudian pada tahun 1933, atap masjid dirombak. Kayu sirap masjid diganti seng wiron, dan lantai serambi dari batu kali diganti tegel kembang. Kemudian pada tahun 1936, lantai batu kali di ruang sholat utama diganti marmer dari Italia. Pada masa perjuangan kemerdekaan, Masjid Gedhe menjadi sarana perjuangan bagi pejuang Indonesia.
Baca juga: Interior Ruang Kelas TK Fungsional dengan Elemen Natural
Karakteristik Arsitektur Masjid Gedhe Keraton Yogyakarta
Masjid Gedhe memiliki gaya arsitektur tradisional Jawa yang mewarisi gaya Masjid Demak. Bagian atap masjid menggunakan model tajug susun tiga, melambangkan tahapan menekuni ilmu tasawuf, yaitu syari’at, thareqat, dan ma’rifat. Lalu di bagian puncak atap menggunakan model atap tajug yang dilengkapi mustaka berbentuk gada, daun kluwih, dan bunga gambir.
Gada memiliki simbol atas keesaan Allah, daun kluwih mengarah pada kata “linuwih” atau lebih yang bermakna manusia akan memiliki kelebihan jika melewati 3 tahapan tasawuf. Sementara bunga gambir mencerminkan makna arum angambar atau keharuman yang semerbak.
Layaknya masjid dan bangunan klasik di Jawa, dinding masjid terbuat dari bata yang diplester. Pada ruang utama masjid, memiliki bentuk bujur sangkar. Terdapat 4 tiang sokoguru yang berfungsi menopang atap tajug 12 tiang sokorowo atau tiang tambahan, mihrab, mimbar, dan maksurah (tempat beribadah sultan dan keluarganya).
Baca juga: Sejarah dan Arsitektur Gedung Indonesia Menggugat
Di sisi selatan ruang utama terdapat ruang ibadah untuk jamaah perempuan. Lalu di sisi utara, terdapat tempat wudhu. Selain itu, tampak jendela dan pintu dengan kusen terbuat dari kayu di ruang utama.
Di dalam serambi Masjid Gedhe Kauman, terdapat bedug dan kentongan. Sekitar masjid, terdapat makam, perpustakaan, gapura atau gerbang, dan dua buah pagongan yang digunakan sebagai tempat menyimpan seperangkat gamelan saat perayaan sekaten.