Tanggal: 11–14 Juni 2025
Lokasi: Ballroom Indraprasta, Sahid Hotel, Yogyakarta
Penyelenggara: Universitas Atma Jaya Yogyakarta
Menelusuri Jejak Budaya dan Lanskap Perkotaan Asia Tenggara
Bagaimana kolonialisme membentuk kota? Bagaimana rumah tradisional mencerminkan lanskap, identitas, dan filosofi hidup? Pertanyaan-pertanyaan ini menjadi inti perbincangan dalam SEAUS 2.0—konferensi regional yang menggali dinamika budaya, urbanisme, dan lanskap di Asia Tenggara.
Mengusung tema “Culture in Transition: Urbanism and Landscape in Southeast Asia”, acara ini diselenggarakan oleh Universitas Atma Jaya Yogyakarta, dan berlangsung selama empat hari dari tanggal 11 hingga 14 Juni 2025, bertempat di Ballroom Indraprasta, Sahid Hotel, Yogyakarta. Programnya meliputi:
- Two-Day Seminar
- One-Day Doctoral Workshop
- One-Day Post-Conference Tour
Pembukaan acara dihadiri oleh para akademisi, profesional, dan mahasiswa arsitektur serta perencanaan dari berbagai negara. Ketua IAI Daerah Istimewa Yogyakarta, Ar. Erlangga Winoto, IAI, AA., turut hadir dan memberikan sambutan pembuka. Dalam pidatonya, ia menekankan pentingnya membangun pemahaman regional tentang urbanisme yang kontekstual dan berakar pada nilai-nilai budaya Asia Tenggara.

Deretan Pembicara Internasional
SEAUS 2.0 menghadirkan para pemikir dan praktisi lintas negara dan disiplin:
- Sofian Sibarani, B.Sc., MUDD, LEED AP – Principal Architect URBAN+; Pemenang Sayembara Desain Kawasan Inti Pusat Pemerintahan Ibu Kota Negara (IKN), Indonesia
- Dr. Victoria Jane Marshall, BLA, MLA, Ph.D. – Director of the Master of Landscape Architecture, National University of Singapore
- Dr. Ir. B. Sumardiyanto, M.Sc. – Anggota Dewan Cagar Budaya Yogyakarta, Dosen Universitas Atma Jaya Yogyakarta
- Dr. Huynh Van Khang, B.Arch., M.Env.Sc., Eng.D. (Architecture) – Arsitek & Dosen, University of Economics, Ho Chi Minh City
- Yori Antar Awal, Ir. – Principal Architect, Han Awal & Partners, Indonesia
- Prof. Grace C. Ramos, Ph.D. – Environmental Planner & Professor, University of the Philippines – College of Architecture

Victoria Marshall: Membaca Lanskap dalam Empat Kerangka Sejarah
Salah satu sesi yang mencuri perhatian adalah paparan dari Dr. Victoria Marshall, yang membedah lanskap urban di Asia Tenggara melalui empat kerangka sejarah: imperial, colonial, post-colonial, dan decolonial.
Berangkat dari konteks negara-negara bekas koloni Inggris seperti Singapura, Malaysia, dan Myanmar, ia menjelaskan bagaimana ekonomi perkebunan (plantation economies) membentuk struktur spasial kota. Ia menyebut bahwa lanskap bukan sekadar bentuk fisik, tetapi medan politik-ekologis yang mewarisi relasi kuasa kolonial, ketimpangan, dan degradasi lingkungan.
Melalui pendekatan lanskap urban sebagai “arsip ekologis”, Marshall mendorong para arsitek lanskap dan perencana kota untuk merefleksikan ulang relasi antara ruang, sejarah, dan keadilan ekologis.
Baca Juga : Desain Interior Beauty Spa & Salon dengan Konsep Wabi Sabi
Huynh Van Khang: Tipologi Rumah Etnik dan Identitas Vietnam
Dalam presentasi yang tak kalah menarik, Dr. Huynh Van Khang memaparkan eksplorasi mendalam mengenai tipologi rumah tradisional di Vietnam, terutama dari komunitas Khmer, Tionghoa, dan Cham Muslim.
Ia menekankan bahwa rumah-rumah ini tidak hanya mencerminkan adaptasi terhadap kondisi geografis dan iklim tropis, tapi juga membawa nilai-nilai spiritual, struktural sosial, dan filosofi hidup yang berbeda. Misalnya, rumah etnik Khmer memiliki elemen-elemen vertikal yang menyesuaikan dengan topografi rawa dan sawah, serta orientasi ruang yang sangat dipengaruhi oleh kepercayaan dan struktur kekerabatan.
Khang menekankan pentingnya mempertahankan tipologi ini sebagai referensi arsitektur kontemporer yang ingin tetap terhubung dengan akar lokal.

Urbanisme Asia Tenggara: Memori, Adaptasi, dan Arah Baru
SEAUS 2.0 menjadi ruang refleksi dan pertukaran gagasan tentang bagaimana kota-kota di Asia Tenggara mengalami transisi budaya dan spasial. Melalui kombinasi teori kritis, studi tipologi, dan pendekatan historis, forum ini membuka jalan bagi pendekatan urbanisme yang lebih inklusif, kontekstual, dan sadar sejarah.
Lebih dari sekadar forum akademik, acara ini membentuk jejaring antara praktisi, peneliti, dan mahasiswa dari berbagai disiplin dan negara, memperkuat dialog lintas batas demi masa depan kota-kota Asia Tenggara yang lebih berkelanjutan dan berakar budaya.