Keraton Yogyakarta adalah istana resmi Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat yang telah menjadi pusat kebudayaan dan pemerintahan di Yogyakarta selama ratusan tahun. Keraton Yogyakarta memiliki kaitan dengan hasil Perjanjian Giyanti dan dibangun pada masa kepemimpinan Sri Sultan Hamengkubuwono I pada tahun 1755.
Berdirinya bangunan ini menjadi simbol kedaulatan dan kekuasaan Kesultanan Yogyakarta. Tak hanya itu, bangunan ini juga menjadi saksi bisu perkembangan sejarah dan budaya di Yogyakarta. Lantas, seperti apa sejarah Keraton Yogyakarta?
Simak informasi lengkapnya dalam pembahasan berikut ini.
Sejarah Keraton Yogyakarta
Keraton Yogyakarta merupakan perpecahan dari Keraton Surakarta Hadiningrat dari Mataram Islam Surakarta atau Kerajaan Surakarta. Jadi, dinasti Mataram terbagi menjadi dua kerajaan, yaitu Kesultanan Yogyakarta dan Kesunanan Sarakarta. Pembagian wilayah tersebut tercantum dalam Perjanjian Jatisari pada 15 Februari 1755.
Baca juga: Gedung Kesenian Jakarta (Batavia), Elegansi Arsitektur Eropa
Sebelum menempati keraton, Sri Sultan Hamengkubuwono I berdiam di Pesanggrahan Ambar Ketawang (sekarang wilayah Kecamatan Gamping, Kabupaten Sleman). Sri Sultan Hamengkubuwono I beserta keluarga dan pengikutnya menempati Keraton Yogyakarta pada 7 Oktober 1756.
Mengutip Dinas Perpustakaan dan Arsip DIY, peristiwa tersebut ditandai dengan sengkalan memet “Dwi Naga Rasa Tunggal dan Dwi Naga Rasa Wani”. Hal tersebut mengacu pada penanggalan Tahun Jawa.
Setelah kemerdekaan Indonesia, Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII menyatakan bahwa wilayahnya yang bersifat kerajaan menjadi bagian dari Negara Republik Indonesia. Amanat ini dikeluarkan pada 5 September 1945.
Meski secara resmi telah menjadi bagian dari Republik Indonesia, namun hingga saat ini kompleks bangunan keraton masih berfungsi sebagai tempat tinggal sultan beserta rumah tangga istana yang masih menjalankan tradisi kesultanan.
Baca juga: Desain Rumah Futuristik Wonosobo, CASA LOKA
Arsitektur Keraton Yogyakarta
Wilayah keseluruhan keraton memiliki luas sekitar 144 hektar, meliputi alun-alun Lor, alun-alun Kidul, seluruh area Baluwarti, gapura, dan kompleks Masjid Gedhe Yogyakarta. Sementara inti keraton (kedhaton) punya luasan 13 hektar.
Keraton Yogyakarta memiliki 7 kompleks inti bangunan, yaitu:
- Balairung Utara (Siti Hinggil Ler)
- Balairung Selatan (Siti Hinggil Kidul)
- Kamandhungan Utara (Kamandhungan Ler)
- Kamandhungan Selatan (Kamandhungan Kidul)
- Sri Manganti
- Kedhaton
- Kamagangan
Arsitektur keranton dirancang langsung oleh Sri Sultan Hamengkubuwono I dengan gaya arsitektur Jawa tradisional. Meski demikian, beberapa bagian bangunan tampak dipengaruhi style bangunan Tiongkok dan Eropa (Portugis dan Belanda). Secara umum, setiap kompleks utama terdiri dari halaman yang ditutupi pasir pantai selatan, bangunan utama dan pendamping, serta pohon tertentu. Kompleks satu dengan lainnya dipisahkan oleh dinding yang cukup tinggi.
Baca juga: Desain Interior Rumah Industrial Japandi, Bikin Betah di Rumah
Bangunan di tiap kompleks memiliki konstruksi joglo atau turunan konstruksinya. Setidaknya ada 3 jenis konstruksi joglo, yaitu bangsal (joglo terbuka), gedhong (gedung), dan tratag (kanopi atap dan tiang bambu) yang berkembang seiring perkembangan zaman.
Biasanya kolom bangunan berwarna hijau gelap atau hitam dengan ornamen berwarna hijau muda, kuning, merah, maupun emas. Dinding pemisah kompleks didominasi warna putih. Sementara untuk lantainya, menggunakan batu pualam putih atau ubin dengan motif yang khas.
Tingkat kerumitan ornamen Keraton Yogyakarta berkaitan dengan status jabatan. Misalnya, bangunan yang digunakan oleh Sultan memiliki detail ornamen yang lebih rumit dan menawan dibandingkan dengan jabatan atau kelas di bawahnya.