Gedung Kesenian Jakarta adalah gedung pertunjukan peninggalan Belanda di Jakarta. Bangunan tua hingga saat ini masih berdiri kokoh di Jalan Gedung Kesenian No.1 tepatnya di Jalan Segara, Pasar Baru, Kecamatan Sawah Besar, Jakarta Pusat.
Bangunan berwarna putih ini menjadi tempat berkumpulnya seniman Nusantara dalam menampilkan hasil karya seninya, seperti teater, drama, sastra, film, dan sebagainya. Sejak masa pemerintahan kolonial, kegiatan kesenian tidak begitu mendapat banyak perhatian pemerintah kolonial, terlebih kesenian tradisional masyarakat pribumi.
Baca juga: Arsitektur Gedung Perpustakaan Nasional, Multifungsi dan Modern
Sejarah Gedung Kesenian Jakarta
Melansir Ensiklopedia Sejarah Indonesia oleh Kemdikbud, gedung kesenian dibangun pada 27 Oktober 1814 saat masa kolonial Inggris. Gedung tersebut bernama Municipal Theatre dan pada saat itu digunakan tentara Inggris yang menyukai teater.
Awalnya, gedung dibangun semi permanen. Lalu pada 6 Juli 1820, gedung dibangun permanen di kawasan Spinhuisgracht (sekarang Jalan Tiang Bendera Timur dan Barat). Karena kawasan tersebut dianggap kurang sehat, maka dibangun gedung baru yang diberi nama Schouwburg dan diresmikan pada 7 Desember 1821. Kemudian pada tahun 1856, gedung mengalami pemugaran.
Pada masa pendudukan Jepang, gedung ini menjadi tempat berkumpulnya kelompok “Seniman Merdeka” sebelum menghibur para pejuang. Setelah Indonesia merdeka, gedung ini digunakan sebagai tempat pelantikan Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) pada 29 Agustus 1945.
Baca juga: Kersan Art Space: Galeri Seni Elegan di Gunung Sempu, Bantul
Pada tahun 1950-an, gedung ini sempat beralih fungsi menjadi kampus Fakultas Ekonomi dan Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) dan tempat latihan pentas Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI). Pada era 1960 dan 1970-an, gedung difungsikan sebagai bangunan komersial.
Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor 24 tahun 1984, gedung mengalami pemugaran dan dikembalikan fungsinya sebagai tempat pentas seni. Setelah pemugaran, gedung diresmikan pada 5 September 1987 dengan nama Gedung Kesenian Jakarta. Dalam acara peresmian tersebut, menampilkan orkes simfoni pimpinan Idris Sardi dan pementasan teater karya Arifin C. Noer yang berjudul “Sumur Tanpa Dasar”.
Elegansi Arsitektur Eropa Gedung Kesenian Jakarta
Gedung Kesenian Jakarta (GKJ) dirancang dengan gaya arsitektur campuran, yaitu Ionic dan Corinthian. Style tersebut masih dipengaruh aliran neoklasik (Empire Style atau Dutch Colonial Villa). Gedung ini dirancang oleh arsitek para perwira Jeni VOC, Mayor Schultze.
Gedung ini memiliki teras berukuran 181 x 250 cm, lobi dengan ketinggian ceiling 2,4 meter, foyer dengan ceiling 4,5 meter di sisi kanan dan kiri bangunan, serta ruang auditorium yang megah dengan dominasi warna merah dan aksen warna emas. Ruangan ini berkapasitas 395 kursi di bagian bawah dan 77 kursi di bagian balkon, serta toilet penonton dan seniman.
Panggung GKJ memiliki lebar 14,8 meter, tinggi 4,5 meter, dan kedalaman 14,8 meter dengan layar utama berwarna merah. Selain itu, terdapat green room berukuran 6,20 x 10,70 meter, ruang rias, ruang dekorasi, dan gudang.
Baca juga: Interior Modern Minimalis dengan Kesan Natural dan Homey
Pintu gedung ini berwarna hitam dengan desain yang sederhana, memperlihatkan gaya neoklasik. Terdapat beberapa model kolom yang digunakan, yaitu penggunaan kolom Ionic di balkon, dan penggunaan kolom model korinthia pada penyangga balkon. Terakhir, kolom utama pada panggung menggunakan model mahkota kolom komposit (perpaduan Ionic dan korinthia) yang sering digunakan pada bangunan istana.
Saat ini Gedung Kesenian Jakarta memiliki fasilitas yang cukup lengkap dan memadai. Terdapat kamera (CCTV) di setiap ruangan, serta fasilitas outdoor berupa electric billboard untuk keperluan publikasi.