Lawang Sewu kerap dikaitkan dengan hal mistis, terutama cerita angker ruang bawah tanahnya. Namun di balik hal tersebut, bangunan bersejarah ini memiliki gaya arsitektur yang megah dan memukau. Saat ini Lawang Sewu menjadi salah satu tujuan wisata populer di Jawa Tengah.
Wisata Lawang Sewu menyuguhkan keindahan arsitektur bangunan bersejarah peninggalan zaman kolonial. Istilah Lawang Sewu diambil dari bahasa jawa yang artinya pintu seribu. Hal ini mencerminkan bangunan ini yang memiliki banyak pintu, tepatnya berjumlah 928 pintu dan jendela.
Sejarah Singkat Lawang Sewu
Mengutip Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Tengah, Lawang Sewu didirikan pada tahun 1904. Awalnya bangunan ini digunakan sebagai kantor administrasi kereta api Belanda. Kantor ini dibangun oleh perusahaan swasta bernama NIS (Nederlands-Indische Spoorweg Maatschappi).
Setelah dikuasai oleh Jepang, bangunan ini menjadi markas militer Jepang “Kempetai dan Kidobuntai”. Bangunan ini menjadi saksi bisu Pertempuran Lima Hari di Semarang pada tanggal 14-19 Oktober 1945. Pertempuran ini dimenangkan AMKA dengan korban jiwa 850 orang Jepang dan 2000 orang Semarang.
Baca juga: Kota Lama Semarang: Bangunan Bersejarah Bergaya Arsitektur Eropa
Untuk mengenang pahlawan yang telah gugur dalam pertempuran, pada tahun 1951 dibangun Tugu Muda di Wilhelminaplein yang berada di seberang bangunan ini. Kemudian setelah Indonesia merdeka, bangunan ini digunakan oleh KODAM IV Diponegoro dari tahun 1949 hingga 1994 sebagai kantor Badan Prasarana Komando Daerah Militer. Sejak tahun 1994 hingga sekarang, bangunan bersejarah ini kosong.
Mengenal Gaya Arsitektur Transisi Lawang Sewu
Lawang Sewu berlokasi di Jalan Pemuda, Sekayu, Kota Semarang. Gedung ini dirancang oleh Ir. P de Rieu namun mengalami kendala dalam proses pembangunannya pada tahun 1903. Lawang Sewu dibangun bertahap di atas lahan seluas 18.232 meter persegi. Melansir Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, setelah Ir. P de Rieu meninggal dunia, pembangunannya dilanjutkan kembali oleh Prof. J. Klinkhamer dan B. J. Oundag,
Menurut Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Tengah, Lawang Sewu menerapkan gaya arsitektur transisi. Gaya arsitektur ini berkembang di Hindia-Belanda dari akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20. Gaya arsitektur transisi adalah perubahan gaya “Indische Empire” menuju “Kolonial Modern”. Style ini lebih menggunakan gaya Indische Empire dana mencoba menghilangkan gaya Yunani.
Gaya arsitektur ini memiliki karakter yang unik, karena menghadirkan menara untuk menciptakan kesan romantis. Perkembangan gaya arsitektur transisi dipengaruhi oleh arsitek bernama Neo-Gothik PJH. Cuypers pada tahun 1827 hingga 1921. Hal tersebut terlihat dari depan gedung ini yang memiliki menara di sebelah kanan dan kirinya yang dilengkapi persegi delapan yang berbentuk kubah diatas menaranya.
Bacs juga: Desain Interior Rumah Modern Luxury: Proyek Lanjutan di Wonogiri
Mengacu pada iklim tropis Hindia-Belanda, penempatan jendela berada di sisi atap (domer) dengan kemiringan sekitar 45º-60º. Bangunan bersejarah ini didominasi penggunaan kayu dan batu bata. Nah, batu bata oranye yang digunakan ternyata melambangkan kemakmuran, kekayaan, dan kasta tertinggi. Bata ini pada zaman dahulu tergolong langka dan sangat mahal, terlebih ada yang bentuknya melengkung.
Zonasi ruang Lawang Sewu berbentuk vertikal dan horizontal. Ruang berbentuk horizontal menerapkan prinsip double banked dengan dua baris ruang yang dipisahkan oleh koridor tengah. Sementara ruang vertikal terdiri dari beberapa lapis lantai berupa void dan tangga.
Penggunaan Kaca Jendela Terbatas
Karakter utama bangunan Lawang Sewu terlihat jelas penggunaan kaca jendela yang terbatas. Kaca patri di bagian tengah menggambarkan Dewi Fortuna, dewi keberuntungan berbaju merah, roda bersayap yang melambangkan kereta api. Tak hanya itu, terdapat pula simbol Dewi Sri pembawa kemakmuran.
Panel di atasnya terdapat tumbuhan dan hewan yang melambangkan Nusantara sebagai negeri yang kaya akan hasil bumi beserta simbol kota dagang Batavia, Surabaya, Semarang. Selain itu, terdapat simbol dagang Belanda, yaitu Roterdam, Amsterdam, serta Den Haag di kaca sebelah kiri. Kemudian di sebelah kanan, menampilkan visual ratu-ratu Belanda.
Baca juga: Interior Modern Minimalis dengan Kesan Natural dan Homey
Uniknya, gedung bersejarah ini dibangun tanpa menggunakan semen. Sebagai gantinya, gedung ini menggunakan adonan bligor atau pese yang terbuat dari campuran pasir, kapur, dan bata merah. Adonan ini dianggap tak mudah retak, karena menyerap air dan menyejukkan ruangan.
Konstruksi Lawang Sewu juga tanpa menggunakan besi. Alternatifnya, atap dibuat melengkung setengah lingkaran di setiap meternya untuk mengurangi tekanan. Mengadopsi struktur jembatan, struktur atap dari bata disusun miring.