Dunia sedang dilanda krisis lingkungan karena ulah manusia. Tak sedikit orang mungkin berpikir hanya dia seorang yang buang satu bungkus permen ke sungai, merasa seolah tidak ada dampak apapun pada lingkungan. Padahal, ada jutaan bahkan miliaran orang di dunia yang berpikiran sama. Itu hanyalah satu contoh perbuatan yang dianggap sepele tapi merusak keanekaragaman hayati (biodiversity).
Terlampau egois, masyarakat kota padat penduduk seperti Jakarta, Bandung, dan Bekasi bahkan tak menyadari kualitas udara di lingkungannya sangat buruk. Masalah ini sempat heboh saat ada media asing yang menyoroti buruknya kualitas udara di Jakarta. Peristiwa tersebut terjadi pada Agustus 2024 di mana indeks kualitas udara (AQI) Jakarta menjadi yang tertinggi di dunia dengan skor 177.
Kalang kabut, pemerintah berusaha mengembalikan citra baiknya dengan menerapkan beberapa kebijakan yang berkaitan dengan strategi iklim. Contohnya, kebijakan work from home, penyiraman jalan, penyemprotan air dari atap gedung, hujan buatan hingga penghentian kegiatan beberapa perusahan penyebab emisi karbon.
Praktik Keberlanjutan di Indonesia
Hewan endemik satu-persatu bergiliran masuk daftar hewan langka, peningkatan berbagai penyakit pernapasan yang didominasi balita dan anak-anak, serta perubahan musim hujan dan kemarau yang tak tentu merupakan dampak nyata adanya krisis lingkungan di Indonesia.
Baca juga: Arsitektur Biofilik: 7 Prinsip Utama dan Contoh Penerapannya
Sebutan paru-paru dunia yang melekat pada Indonesia kian terancam. Mau tak mau, Indonesia harus mempertahankan gelar tersebut dengan turut berkontribusi mencapai keberlanjutan dunia. Lantas, langkah-langkah seperti apa yang sudah dilakukan Indonesia untuk mencapai keberlanjutan?
Meski sedikit terlambat dengan negara lain, Indonesia punya komitmen untuk mencapai target Net Zero Emissions (NZE) pada tahun 2060. Misi besar tersebut tidak lepas dari aspek-aspek keberlanjutan, meliputi aspek ekonomi, sosial, lingkungan, dan governance.
Dalam aspek ekonomi, kita mengenal istilah ekonomi sirkular. Selama ada barang yang masih layak pakai, maka kita bisa menggunakannya kembali atau mendaur ulang barang bekas atau limbah agar memiliki nilai jual.
Pada aspek sosial, pemerintah memenuhi kebutuhan air bersih maupun transportasi umum yang memadai disertai dengan ajakan kepada warga untuk menghemat energi. Saat melangkahkan kaki ke stasiun, kita pasti sempat teralihkan oleh space yang memuat slogan maupun ajakan menggunakan transportasi umum dan menghemat energi. Misalnya, seperti slogan “Hemat energi, selamatkan bumi”.
Baca juga: Desain Interior Villa Tropis Minimalis Sejuk di Yogyakarta
Saat membahas keberlanjutan, pasti hal pertama yang terpikirkan di otak kita hanyalah seputar aspek lingkungan. Bagaimana caranya kita bisa menghemat energi, membuang sampah pada tempatnya, mendaur ulang sampah, menggunakan produk lokal, dan menggunakan kendaraan listrik yang ramah lingkungan. Kita lupa bahwa ada aspek governance yang punya peran krusial.
Pada aspek ini, pemerintah Indonesia mewajibkan perusahaan BUMN seperti Bank Mandiri, Pertamina, bahkan WIKA menerapkan konsep ESG (Environment, Social, and Governance) untuk mewujudkan bisnis dan lingkungan yang berkelanjutan. Meski terkadang luput dari perhatian, ternyata transparansi APBN juga termasuk dalam aspek governance, lho.
Mengenal Biofilik dan Smart Home
Angka emisi karbon yang tinggi dapat ditekan dengan penerapan biofilik dan smart home. Istilah smart home pasti sudah akrab di telinga kita. Contoh penerapan smart home di antaranya, penggunaan robot pembersih lantai, speaker pintar, pegendalian cahaya dan suhu otomatis, serta sistem keamanan pintar yang mampu mendeteksi aktivitas mencurigakan. Lalu, apa itu biofilik?
Coba bayangkan terminal 3 Bandara Changi Singapura yang memiliki taman kupu-kupu, menghadirkan oasis hijau lengkap dengan gemericik air terjun yang menyegarkan. Saat berada di area ini, penat dan rasa lelah seakan hilang seketika. Itulah salah satu dari sekian banyak contoh wujud bangunan yang menerapkan konsep biofilik. Dengan menerapkan konsep ini, kita akan merasa terhubung dengan alam meskipun itu hanyalah lingkungan binaan (built environment).
Kontribusi Biofilik dan Smart Home dalam Mencapai Keberlanjutan
Penerapan biofilik dan smart home sangat fleksibel, sehingga bisa diterapkan pada rumah tinggal hingga gedung perkantoran. Jika memikirkan konsep keberlanjutan, otomatis kita akan membayangkan padang rumput hijau dengan air terjun yang indah. Terdengar suara kicau burung yang merdu, serta gemericik dan terpaan air terjun yang menyejukkan. Saat menghirup udara, kita akan merasa lebih rileks dan tenang.
Desain biofilik didominasi penggunaan material alami, lokal, dan ramah lingkungan, sehingga sejalan dengan keberlanjutan. Saat ini, masyakarat sudah cukup aware dengan isu lingkungan, sehingga bangunan dengan konsep biofilik pasti banyak diminati.
Baca juga: Interior Modern Minimalis dengan Kesan Natural dan Homey
Biofilik tanpa smart home seperti makan sayur tanpa garam, hambar. Smart home punya kontribusi dalam keberlanjutan, di antaranya membantu kita menghemat energi sekaligus memantau pengeluaran energi yang kita gunakan dalam kurun waktu tertentu. Berkaca dari negara China, hotel hingga fasilitas publik bahkan sudah menggunakan sistem digital yang canggih.
Mengendarai mobil tanpa sopir saat ini sudah menjadi hal biasa. Melebihi ekspektasi, saat kita berkunjung ke China akan tampak lalu-lalang kendaraan bahkan sekelas bus dan kereta tanpa awak sudah menjadi hal yang wajar. Apakah hal serupa bisa diadopsi Indonesia?
Sayangnya, untuk mengadopsi digitalisasi seperti China, kita masih perlu membenahi privasi dan sistem keamanan data. Tentunya hal tersebut harus dimulai dengan pengembangan sumber daya manusia yang mumpuni. Karena secanggih-canggihnya teknologi, tingkat keberhasilannya tetap bergantung pada kompetensi sumber daya manusia di Indonesia.