Universitas Gallaudet merupakan institusi pendidikan di Amerika Serikat pertama untuk tunarungu dan gangguan pendengaran. Dengan menerapkan prinsip Deaf Space, universitas ini telah berkembang dan menyesuaikan ruang dan metode pengajaran sesuai dengan kebutuhan mahasiswanya.
Desain arsitektur kampus ini berhasil menghadirkan lingkungan yang aman dan nyaman untuk mahasiswanya. Bangunan ini menjadi pembelajaran bagi arsitek untuk menggunakan strategi mereka dalam menciptakan ruang yang dapat diakses oleh semua orang.
Sejarah Singkat Gallaudet University
Pada tahun 1816, Laurent Clerc dan Thomas Hopkins Gallaudet memiliki impian untuk membuka institusi pendidikan tunarungu di Amerika saat mereka melintasi Atlantik dari Paris, Prancis, ke Amerika Serikat.
Dengan dukungan Presiden Abraham Lincoln, pada tahun 1864 mereka memperluas visinya dengan mendirikan Universitas Gallaudet. Kemudian pada tahun 1866, universitas ini dirancang oleh Frederick Law Olmsted yang terkenal dengan karya desainnya “York City’s Central Park”.
Baca juga: Desain Sekolah Minimalis SMK N 1 Temanggung – Temanggung, Jawa Tengah
Universitas di Washigton DC ini memiliki lahan seluas 99 hektar dan telah diakui sebagai bagian dari Distrik Bersejarah Nasional. Lahan tersebut mencakup 2,5 juta kaki persegi gedung akademik, residential, dan bangunan pendukung lainnya. Dengan perencanaan dan adapatasi yang cermat, setiap ruangan yang ada pada kampus mencerminkan prinsip inklusivitas dan aksesbilitas.
Pembangunan DeafSpace
DeafSpace Project (DSP) dilaksanakan pada tahun 2005 oleh arsitek Hansel Bauman dari HBHM Architects yang berkolaborasi dengan ASL dan Deaf Studies Programs. Kerja sama tersebut menghasilkan pengembangan DeafSpace Guidelines, panduan desain dengan lebih dari 150 elemen arsitektural dan kontribusinya dalam menciptakan lingkungan yang lebih baik untuk penyandang tunarungu.
Pedoman tersebut membahas lima bidang utama yang perlu dipertimbangkan oleh para arsitek dan desainer yang bekerja dengan komunitas tunarungu.
Detail Desain Arsitektur untuk Penyandang Tunarungu
Komunitas tunarungu memiliki persyaratan jarak tertentu. Untuk melakukan pembicaraan, mereka memerlukan kontak mata dan ruangan yang cukup di sekitar lengan agar dapat memberi isyarat dengan nyaman. Ruangan tersebut dikenal dengan “signing space” atau ruang isyarat.
Baca juga: Gedung Tertinggi di AS, Legends Tower Memulai Konstruksinya Tahun Ini
Dalam kelompok besar, biasanya penyandang tunarungu membentuk lingkaran yang memungkinkan semua individu untuk berkomunikasi satu sama lain. Metode komunikasi seperti ini memerlukan ruang dimensi lebih besar untuk mengakomodasi semua jenis interaksi.
Berbeda dengan orang pada umumnya, penyandang tunarungu merasa lebih aman dan nyaman di ruang terbuka karena memberikan kontrol visual bagi mereka. Oleh karena itu, ruang interior didesain dengan dinding transparan, bukaan besar, dan panel sliding di area komunal dengan ketinggian yang bervariasi agar garis pandang jelas.
Bagi penyandang tunarungu, pengaturan tempat duduk harus memperhatikan jarak pandang yang tepat agar komunikasi dapat terbaca. Ruang kelas juga disarankan menggunakan pengaturan tempat duduk tapal kuda untuk memudahkan akses visual.
Dalam merancang ruang bagi penyandang tunarungu, desainer harus menggunakan berbagai strategi untuk meningkatkan komunikasi sensorik yang berhubungan dengan penglihatan, penciuman, dan getaran.
Baca juga: Kersan Art Space: Galeri Seni Elegan di Gunung Sempu, Bantul
Trotoar, jalan setapak, dan koridor didesain lebih lebar dan landai. Desain sangat menghindari transisi miring dan tangga. Apabila tangga diperlukan, maka harus dipastikan mampu mengakomodasi pergerakan penyandang tunarungu dengan baik.
Penggunaan arcade bangunan dan elemen arsitektur ritmis membantu meningkatkan alur navigasi dan percakapan penyandang tunarungu. Hal ini berkaitan dengan kepekaan individu untuk memandang dan bergerak dalam lingkungan mereka.
Pemilihan Warna dan Cahaya
Penyandang tunarungu sangat bergantung pada komunikasi visual, seperti membaca bibir, bahasa isyarat, dan ekspresi wajah. Oleh karena itu, kondisi cahaya berperan penting dalam mengakomodasi komunikasi mereka.
Di seluruh lingkungan kampus, kisi-kisi matahari digunakan untuk mengontrol cahaya menyebarkan sinar matahari secara langsung. Selain itu, eksterior juga diberi naungan untuk menyediakan lingkungan bebas silau sehingga tidak mengganggu komunikasi.
Dibandingkan menempatkan sumber cahaya secara terpusat di dalam ruangan, sistem pencahayaan di dalam ruangan presentasi didesain fleksibel dengan penggunaan dua jenis lampu untuk mengakomodasi berbagai jenis presentasi. Sementara di malam hari, ruang publik dilengkapi kolam cahaya yang ditempatkan sedemikan rupa untuk menghindari titik panas dan bayangan.
Baca juga: Interior Pameran Buku Fankfurt 2024 Oleh Stefano Boeri
Penggunaan warna dengan rona biru yang lembut dan hijau menciptakan kontras dengan warna kulit, sehingga bahasa isyarat dapat terbaca dengan baik. Tak hanya itu, pemilihan warna tersebut juga mampu menciptakan suasana yang menenangkan.
Tekstur permukaan yang reflektif juga perlu dihindari karena dapat menimbulkan silau. Sebaiknya pilihlah tekstur matte atau kasar. Penggunaan cermin juga harus digunakan secara strategis agar orang dapat mengontrol lingkungan di sekitarnya secara visual.
Penggunaan Ruang Akustik
Meski dianggap kurang penting, namun penggunaan ruang akustik mampu memperkuat semua jenis suara. Dengan demikian, maka orang yang menggunakan alat bantu dengar terhindar dari kebisingan.
Bagian yang cukup sulit adalah ruangan ini harus mempertimbangkan isyarat getaran seperti alarm atau langkah kaki agar dapat dirasakan dengan mudah, sekaligus mengurangi gangguan suara dari luar ruangan.
Baca juga: Quinn Evans Restorasi Michigan Central Menjadi Kantor Ford
Gunakan permadani, karpet, dan gorden untuk menyerap suara. Selain itu, gunakan juga jendela berlapis ganda, dinding berinsulasi, dan pintu inti padat untuk membantu mencegah kebisingan. Penggabungan berbagai permukaan dan penyebar suara juga dapat menyebarkan suara dengan baik, sehingga meminimalisasi gema.
Dengan pemahaman yang baik, arsitek dan desainer dapat menciptakan ruang bagi penyandang tunarungu untuk merespon berbagai jenis komunikasi melalui koneksi visual, isyarat multi-indera, kenyamanan akustik, dan warna.